BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pemikiran perspektif konflik
menekankan pada adanya perbedaan pada diri individu dalam mendukung suatu
sistem sosial. Menurut perspektif konflik masyarakat terdiri dari individu yang
masing-masing memiliki berbagai kebutuhan (interests) yang sifatnya langka.
Keberhasilan individu mendapatkan kebutuhan dasar tersebut berbeda-beda, hal
ini dikarenakan kemampuan individu untuk mendapatkannya pun berbeda-beda.
Persaingan untuk mendapatkan kebutuhan itulah yang akan memicu munculnya
konflik dalam masyarakat Perspektif ini beranggapan bahwa masyarakat dibentuk
oleh persaingan kelompok-kelompok dalam menguasai sumber-sumber yang bersifat
langka. Individu dibentuk oleh institusi sosial dan posisi kelompok-kelompok
mereka dalam masyarakat. Bagi perspektif ini perubahan sosial merupakan sesuatu
yang tidak dapat dihindarkan dan selalu terjadi dalam setiap masyarakat.perspektif
ini lebih menekankan kepentingan, kekuasaan, dominasi, konflik, dan pemaksaan.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari
latar belakang diatas maka yang akan di bahasa dalam makalah ini adalah sebagai
berikut :
a) Apa perspektif konflik
b) Siapa
tokoh – tokoh perspektif konflik
BAB II
PEMBAHASAN
A. PERSPEKTIF KONFLIK
Teory
konflik di katagorikan didalam kelompok sosiologi makro. para teoretis konflik
melihat masyarakat berada dalam konflik yang terus-menerus didalam kelompok
atau kelas yang dominan dan perjuangan
meraih kekuasaan dan penghasilan sebagai suatu proses yang berkesinambungan.
Perspektif ini lebih menekankan pada peranan kekuasaan (tidak mengakui kesamaan dalam suatu masyarakat) Seperti halnya dalam sekolah,
pendidikan merupakan variabel kelas atau status. Pendidikan akan mengantar sesorang
untuk mendapatkan status yang tinggi yang menuju kearah
konsumeris yang membedakan dengan kaum buruh. Menurut perspektif
konflik masyarakat terdiri dari individu yang masing-masing memiliki berbagai
kebutuhan (interests) yang sifatnya langka. Keberhasilan individu mendapatkan
kebutuhan dasar tersebut berbeda-beda, hal ini dikarenakan kemampuan individu
untuk mendapatkannya pun berbeda-beda. Persaingan untuk mendapatkan kebutuhan
itulah yang akan memicu munculnya konflik dalam masyarakat.
B. TOKOH – TOKOH PEMIKIR TEORY KONFLIK
Perspektif konflik secara luas
terutama didasarkan pada karya Karl Marx (1818-1883), Wright Mills (1956-1959),
Lewis Coser (1956), Aron (1957), Dahrendorf (1959, 1964), Chambliss (1973), dan
Collines (1975) dan penganut teori konflik lainnya Bowles, Gintis, Louis
Althusser, Pierre Bourdieu, Paulo Freire, dan Ivan Illich.berikut beberapa pokok – pokok pikiran penganut teory konflik.
1) Ralf Dahrendorf , asumsi utama dari perspektif ini
ada empat, yaitu;
a) Setiap masyarakat tunduk
pada proses perubahan;
b) Disensus dan konflik
terdapat di mana-mana;
c) Setiap unsur masyarakat
memberikan sumbangan pada disintegrasi dan perubahan masyarakat;
d) Setiap masyarakat
didasarkan pada paksaan beberapa orang anggota terhadap anggota lainnya.
2)
PauloFreire
Filsafat pendidikan Freire bertumpu
pada keyakinan, manusia secara fitrah mempunyai kapasitas untuk mengubah
nasibnya. Dengan demikian, tugas utama pendidikan sebenarnya mengantar peserta
didik menjadi subyek. Untuk mencapai tujuan ini, proses yang ditempuh harus
mengandaikan dua gerakan ganda: meningkatkan kesadaran didik sekaligus berupaya
mentranformasi struktur sosial yang menjadikan penindasan itu berlangsung. Sebab,
kesadaran manusia itu berproses secara dialektis antara diri dan lingkungan. Ia
punya potensi untuk berkembang dan mempengaruhi lingkungan, tetapi ia juga bisa
dipengaruhi dan dibentuk oleh struktur sosial tempat ia berkembang.Idealitas
itu bisa dicapai jika proses pembelajaran mengandaikan relasi antara guru/dosen
dan peserta didik yang bersifat subyek-subyek, bukan subyek- obyek.dalam
pandangan Freire,tidak hanya menjadi tenaga pengajar yang memberi instruksi
kepada anak didik, tetapi mereka harus memerankan dirinya sebagai perkerja
kultural(cultural workers).Jika pendidikan dipahami sebagai aksi kultural untuk
pembebasan, maka pendidikan tidak bisa dibatasi fungsinya hanya sebatas area
pembelajaran di sekolah. Ia harus diperluas perannya dalam menciptakan
kehidupan publik yang lebih demokratis. dalam pandangan Freire harus ada
semacam kontekstualisasi pembelajaran di kelas. Paulo Freire menyebut proses
pendidikan selama ini sebagai “sistem bank”. Dalam sistem ini guru menjadi
subyek yang memiliki pengetahuan yang diisikan pada murid. Murid adalah “cawan”
dan obyek yang menjadi tempat deposito “pengetahuan” sang guru. Dalam proses
belajar yang seperti ini, jelas tidak terjadi komunikasi “dua arah” antara guru
dan murid. Praktik pendidikan seperti inilah yang menjadi model pelanggengan
akan struktur penindasan, yaitu yang tertindas(murid dan yang menindas (guru).Oleh
karena itu, Paulo Freire menawarkan konsep “Problem Posing Education” yang akan
memungkinkan munculnya konsientasi, yaitu proses yang melibatkan antara guru
dan murid sebagai subyek dalam pendidikan, mereka disatukan oleh subyek yang
sama. Tidak ada lagi yang memikirkan dan yang difikirkan, tetapi berfikir
bersama.Dalam “Problem posing education” ini, guru belajar dari murid dan murid
belajar dari guru. Guru menjadi rekan dan mitra yang melibatkan diri dan mampu
merangsang daya pemikiran kritis murid-muridnya.
3)
Bowles & Gintis
Samuel Bowles dan Herbert Gintis
(1976) adalah cara para ekonom politik di Amerika Serikat yang menganalisis
tujuan persekolahan dalam masyarakat Amerika. Mereka berdua menulis buku
berjudul Schooling in capitalist America. Teori Bowles dan Gintis mengatakan
bahwa pendidikan merupakan sarana untuk mengekalkan dominasi, berlaku baik bagi
masyarakat Barat yang liberal maupun pada masyarakat blok Timur yang sosialistis.
Meskipun demikian, analisis Gintis selanjutnya dialamatkan kepada sistem
pendidikan yang berlaku di Amerika Serikat. Prinsip pendidikan sebagai sarana
untuk mengekalkan dominasi biasa disebut juga “reproduksi langsung” atau direct
reproduction, yang dalam arti khusus berarti usaha melanjutkan dan mengekalkan
sistem kemasyarakatan yang kapitalistis.
Sistem pendidikan yang berlangsung dalam sekolah tak berbeda dengan yang
terjadi di lapangan kerja dalam masyarakat kapitalis, yaitu terdapat upaya
penekanan pada disiplin, ketekunan, ketepatan, ketergantungan pada atasan, dan
lain-lain bukan kepada kemandirian dan kreativitas.
4)
Louis Althuser
Analisis Althuser sejalan dengan
analisis Bowles dan Gintis, yaitu bahwa pendidikan bertujuan untuk
mempertahankan dan memperkuat hubungan produksi kapitalis berupa hubungan
eksploitasi. Bedanya adalah bahwa Althuser memandang pendidikan sebagai
perlengkapan Negara pada masyarakat kapitalis.Pada teori konflik yang
tradisional terdapat apa yang dinamakan sistem ekonomi sebagai struktur dasar
(infrastruktur) dan sistem-sistem kehidupan lain seperti politik, hokum,
pendidikan, kebudayaan, pemerintahan negara sebagai superstruktur.Althusser
menunjukkan bahwa pemberi dan penentu makna yang mengajari masyarakat untuk dan
berelasi sosial adalah kelas penguasa yang memiliki kekuasaan hegemoni tafsir
makna dan tafsir hubungan antar anggota. Tafsir hegemoni ini disemburkan dalam
anggota masyarakat lewat media massa, saluran penerangan hingga menjadi
kesadaran masyarakat yang ideologis semu palsu. Karena masyarakat mengira itu
adalah kesadarannya padahal kesadaran palsu hasil manipulasi ideologis kelas
pemilik dan hegemoni.Kesadaran palsu ideologis ini dilanggengkan lewat
lembaga-lembaga pendidikan, birokrasi, aparat keamanan, propaganda media massa
yang membentuk terus-menerus kesadaran warga hingga sama dengan kesadaran
penguasa pemilik tafsir makna. Ini sebabnya kesadaran seolah-olah demokratis
padahal semu dan palsu. Bisa awet abadi karena pusat pikiran alternatif dalam
mengkonstruksi sendiri makna dibungkam.
5)
Pierre Bourdieu
Bourdieu mengembangkan konsep
pertimbangan budaya (cultural arbitraries) setiap masyarakat mempunyai
pertimbangan budaya sendiri yang tidak bisa dijelaskan dengan kemampuan logika.
Ia menolak teori bahwa pencapaian pendidikan yang lebih tinggi dari kelas
menengah dan atas adalah akibat dari superioritas atau perbedaan genetika, dan
mengajukan argumen bahwa sesungguhnya hal tersebut terjadi ditentukan secara
social oleh sifat-sifat kultural yang menguntungkan anak-anak golongan seperti
itu yang didapatkan di rumah dan pada saat mereka mulai bersekolah.
Pertimbangan budaya itu diwariskan
melalui sosialisasi. Dalam masyarakat yang heterogen, terdapat banyak pola
pertimbangan budaya milik kelas sosial yang dominan.Bourdieu menganjurkan
supaya reformasi pendidikan memusatkan perhatiannya pada memberikan capital
cultural kepada golongan kaum pekerja atau golongan masyarakat ekonomi bawah.
6)
Ivan Illich
Ivan Illich memiliki gambaran yang
lebih ekstrim dalam karyanya Deschooling Society (1982) atau “Bebas dan
Sekolah”. Dikatakan oleh Illich bahwa sekolah adalah tempat anak-anak ditekan
dan dipaksa untuk mempelajari hal-hal yang tidak mereka kehendaki atau senangi,
padahal belajar yang baik adalah yang berlangsung dalam suasana bebas yang
memungkinkan pelajar sendiri memilih pelajaran yang disukainya. Selanjutnya
Illich menyarankan agar sistem persekolahan dibubarkan saja karena tidak
efektif.
Perspektif ini beranggapan bahwa masyarakat
dibentuk oleh persaingan kelompok-kelompok dalam menguasai sumber-sumber yang
bersifat langka. Individu dibentuk oleh institusi sosial dan posisi
kelompok-kelompok mereka dalam masyarakat. Bagi perspektif ini perubahan sosial
merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan dan selalu terjadi dalam setiap
masyarakat. Konsep-konsep yang ditekankan dalam perspektif ini adalah
kepentingan, kekuasaan, dominasi, konflik, dan pemaksaan.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Jadi perspektif konflik bersifat makro dan konflik dalam masyarakat dibentuk oleh persaingan kelompok -
kelompok dalam menguasai sumber-sumber yang bersifat langka serta Individu
dibentuk oleh institusi sosial dan posisi kelompok-kelompok mereka dalam
masyarakat kepentingan, kekuasaan, dominasi, konflik, dan pemaksaan setiap
individu atau kelompok.
DAFTAR PUSTAKA
Sanderson,
Stephen K.2003. Makro Sosiologi.jakarta : PT Raja Grafindo persada.