Senin, 01 April 2013

perspektif konflik

ekarulisa@gmail.com

Perspektif Konflik
Perspektif konflik secara luas terutama didasarkan pada karya Karl Marx (1818-1883), yang melihat pertentangan dan eksploitasi kelas sebagai penggerak utama kekuatan-kekuatan dalam sejarah.Wright Mills (1956-1959), Lewis Coser (1956), Aron (1957), Dahrendorf (1959, 1964), Chambliss (1973), dan Collines (1975): Bilamana, para fungsionalis melihat keadaan normal masyarakat sebagai suatu keseimbangan yang mantap, maka para teoretisi konflik melihat masyarakat sebagai berada dalam konflik yang terus-menerus di antara kelompok dan kelas.Teoretisi konflik melihat perjuangan meraih kekuasaan dan penghasilan sebagai suatu proses yang berkesinambungan terkecuali satu hal, dimana orang-orang muncul sebagai penentang – kelas, bangsa, kewarganegaraan dan bahkan jenis kelamin.Para teoretisi konflik memandang suatu masyarakat sebagai terikat bersama karena kekuatan dari kelompok atau kelas yang dominan.Mereka mengklaim bahwa “nilai-nilai bersama” yang dilihat oleh para fungsionalis sebagai suatu ikatan pemersatu tidaklah benar-benar suatu konsensus yang benar; sebaliknya konsensus tersebut adalah ciptaan kelompok atau kelas yang dominan untuk memaksakan nilai-nilai serta peraturan mereka terhadap semua orang.Singkatnnya, pandangan ini berorientasi pada studi struktur sosial dan lembaga-lembaga sosial, yang memandang masyarakat terus menerus berubah dan masing-masing bagian dalam masyarakat potensial memacu dan menciptakan perubahan sosial. Dalam konteks pemeliharaan tatanan sosial. Perspektif ini lebih menekankan pada peranan kekuasaan.
B. Perspektif Utama dalam Sosiologi
Dari penjelasan keempat perspektif di atas, ada dua pespektif yang menjadi perspektif utama dalam sosiologi yaitu perspektif fungsionalis dan perspektif konflik. Perbedaan kedua perspektif ini dapat diperhatikan pada persepsi-persepsi berikut;
Persepsi tentang
Teori Fungsionalis
Teori Konflik
Masyarakat
Suatu sistem yang stabil dari kelompok-kelompok yang bekerjasama
Suatu sistem yang tidak stabil dari kelompok-kelompok dan kelas-kelas yang saling bertentangan
Kelas Sosial
Suatu tingkat status dari orang-orang yang memperoleh pendapatan dan memiliki gaya hiidup yang serupa. Berkembang dari isi perasaan orang dan kelompok yang berbeda
Sekelompok orang yang memiliki kepentingan ekonomi dan kebutuhan kekuasaan yang serupa. Berkembang dari keberhasilan sebagian orang dalam mengeksploitasi orang lain
Perbedaan Sosial
Tidak dapat dihindarkan ddalam susunan masyarakat yang kompleks. Terutama disebabkan perbedaan kontribusi dari kelompok-kelompok yang berbeda
Tidak perlu dan tidak adil. Terutama disebabkan perbedaan dalam kekuasaan. Dapat dihindarkan dengan jalan penyusunan kembali masyarakat secara sosialistis
Perubahan Sosial
Timbul dari perubahan kebutuhan fungsional masyarakat yang terus berubah
Dipaksakan oleh suatu kelas terhadap kelas yang lainnya untuk kepentingan kelas pemaksa
Tata tertib sosial
Hasil usaha tidak sadar orang-orang untuk mengorganisasi kegiatan-kegiatan mereka secara produktif
Dihasilkan dan dipertahankan oleh pemaksa yang terorganisasi oleh kelas-kelas yang dominan
Nilai-nilai
Konsensus atas nilai-nilai yang mempersatukan masyarakat
Kepentingan yang bertentangan akan memecahbelah masyarakat. Khayalan (ilusi) consensus nilai-nilai dipertahankan oleh nilai-nilai yang dominan
Lembaga-lembaga sosial
Menanamkan nilai-nilai umum dan kesetian yang mempersatukan masyarakat
Menanamkan nilai-nilai dan kesetian yang melindungi golongan yang mendapat hak-hak istimewa
Hukum dan Pemerintahan
Menjalankan peraturan yang mencerminkan consensus nilai-nilai masyarakat
Menjalankan peraturan yang dipaksakana oleh kelas yang dominan untuk melindungi hak-hak istimewa
Teori Konflik yangdidalanya tidak mengakui kesamaan dalam suatu masyarakat. MenurutWeber, stratifikasi merupakankekuatan sosial yang berpengaruh besar. Seperti halnya dalamsekolah, pendidikan merupakan variabelkelas atau status. Pendidikan akan mengantar sesorang untuk mendapatkan status yang tinggi yangmenuju kearah konsumeris yangmembedakan dengan kaum buruh. Namun tekanan disini bukan pa

Minggu, 31 Maret 2013

makalah tentang perpsektif konflik



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
            Pemikiran perspektif konflik menekankan pada adanya perbedaan pada diri individu dalam mendukung suatu sistem sosial. Menurut perspektif konflik masyarakat terdiri dari individu yang masing-masing memiliki berbagai kebutuhan (interests) yang sifatnya langka. Keberhasilan individu mendapatkan kebutuhan dasar tersebut berbeda-beda, hal ini dikarenakan kemampuan individu untuk mendapatkannya pun berbeda-beda. Persaingan untuk mendapatkan kebutuhan itulah yang akan memicu munculnya konflik dalam masyarakat Perspektif ini beranggapan bahwa masyarakat dibentuk oleh persaingan kelompok-kelompok dalam menguasai sumber-sumber yang bersifat langka. Individu dibentuk oleh institusi sosial dan posisi kelompok-kelompok mereka dalam masyarakat. Bagi perspektif ini perubahan sosial merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan dan selalu terjadi dalam setiap masyarakat.perspektif ini lebih menekankan kepentingan, kekuasaan, dominasi, konflik, dan pemaksaan.
B.     RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas maka yang akan di bahasa dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
a)      Apa  perspektif konflik
b)      Siapa tokoh – tokoh perspektif konflik







BAB II
PEMBAHASAN
A.    PERSPEKTIF KONFLIK
            Teory konflik di katagorikan didalam kelompok sosiologi makro. para teoretis konflik melihat masyarakat berada dalam konflik yang terus-menerus didalam kelompok atau kelas  yang dominan dan perjuangan meraih kekuasaan dan penghasilan sebagai suatu proses yang berkesinambungan. Perspektif ini lebih menekankan pada peranan kekuasaan (tidak mengakui kesamaan dalam suatu masyarakat) Seperti halnya dalam sekolah, pendidikan merupakan variabel kelas atau status. Pendidikan  akan mengantar sesorang untuk mendapatkan status yang tinggi yang menuju kearah konsumeris yang membedakan dengan kaum buruh. Menurut perspektif konflik masyarakat terdiri dari individu yang masing-masing memiliki berbagai kebutuhan (interests) yang sifatnya langka. Keberhasilan individu mendapatkan kebutuhan dasar tersebut berbeda-beda, hal ini dikarenakan kemampuan individu untuk mendapatkannya pun berbeda-beda. Persaingan untuk mendapatkan kebutuhan itulah yang akan memicu munculnya konflik dalam masyarakat.
B.     TOKOH – TOKOH PEMIKIR TEORY KONFLIK
 Perspektif konflik secara luas terutama didasarkan pada karya Karl Marx (1818-1883), Wright Mills (1956-1959), Lewis Coser (1956), Aron (1957), Dahrendorf (1959, 1964), Chambliss (1973), dan Collines (1975) dan penganut teori konflik lainnya Bowles, Gintis, Louis Althusser, Pierre Bourdieu, Paulo Freire, dan Ivan Illich.berikut beberapa  pokok – pokok pikiran penganut teory konflik.
1)      Ralf  Dahrendorf , asumsi utama dari perspektif ini ada empat, yaitu;
a)      Setiap masyarakat tunduk pada proses perubahan;
b)      Disensus dan konflik terdapat di mana-mana;
c)      Setiap unsur masyarakat memberikan sumbangan pada disintegrasi dan perubahan masyarakat;
d)     Setiap masyarakat didasarkan pada paksaan beberapa orang anggota terhadap anggota lainnya.
2)      PauloFreire
            Filsafat pendidikan Freire bertumpu pada keyakinan, manusia secara fitrah mempunyai kapasitas untuk mengubah nasibnya. Dengan demikian, tugas utama pendidikan sebenarnya mengantar peserta didik menjadi subyek. Untuk mencapai tujuan ini, proses yang ditempuh harus mengandaikan dua gerakan ganda: meningkatkan kesadaran didik sekaligus berupaya mentranformasi struktur sosial yang menjadikan penindasan itu berlangsung. Sebab, kesadaran manusia itu berproses secara dialektis antara diri dan lingkungan. Ia punya potensi untuk berkembang dan mempengaruhi lingkungan, tetapi ia juga bisa dipengaruhi dan dibentuk oleh struktur sosial tempat ia berkembang.Idealitas itu bisa dicapai jika proses pembelajaran mengandaikan relasi antara guru/dosen dan peserta didik yang bersifat subyek-subyek, bukan subyek- obyek.dalam pandangan Freire,tidak hanya menjadi tenaga pengajar yang memberi instruksi kepada anak didik, tetapi mereka harus memerankan dirinya sebagai perkerja kultural(cultural workers).Jika pendidikan dipahami sebagai aksi kultural untuk pembebasan, maka pendidikan tidak bisa dibatasi fungsinya hanya sebatas area pembelajaran di sekolah. Ia harus diperluas perannya dalam menciptakan kehidupan publik yang lebih demokratis. dalam pandangan Freire harus ada semacam kontekstualisasi pembelajaran di kelas. Paulo Freire menyebut proses pendidikan selama ini sebagai “sistem bank”. Dalam sistem ini guru menjadi subyek yang memiliki pengetahuan yang diisikan pada murid. Murid adalah “cawan” dan obyek yang menjadi tempat deposito “pengetahuan” sang guru. Dalam proses belajar yang seperti ini, jelas tidak terjadi komunikasi “dua arah” antara guru dan murid. Praktik pendidikan seperti inilah yang menjadi model pelanggengan akan struktur penindasan, yaitu yang tertindas(murid dan yang menindas (guru).Oleh karena itu, Paulo Freire menawarkan konsep “Problem Posing Education” yang akan memungkinkan munculnya konsientasi, yaitu proses yang melibatkan antara guru dan murid sebagai subyek dalam pendidikan, mereka disatukan oleh subyek yang sama. Tidak ada lagi yang memikirkan dan yang difikirkan, tetapi berfikir bersama.Dalam “Problem posing education” ini, guru belajar dari murid dan murid belajar dari guru. Guru menjadi rekan dan mitra yang melibatkan diri dan mampu merangsang daya pemikiran kritis murid-muridnya.
3)      Bowles & Gintis
            Samuel Bowles dan Herbert Gintis (1976) adalah cara para ekonom politik di Amerika Serikat yang menganalisis tujuan persekolahan dalam masyarakat Amerika. Mereka berdua menulis buku berjudul Schooling in capitalist America. Teori Bowles dan Gintis mengatakan bahwa pendidikan merupakan sarana untuk mengekalkan dominasi, berlaku baik bagi masyarakat Barat yang liberal maupun pada masyarakat blok Timur yang sosialistis. Meskipun demikian, analisis Gintis selanjutnya dialamatkan kepada sistem pendidikan yang berlaku di Amerika Serikat. Prinsip pendidikan sebagai sarana untuk mengekalkan dominasi biasa disebut juga “reproduksi langsung” atau direct reproduction, yang dalam arti khusus berarti usaha melanjutkan dan mengekalkan sistem kemasyarakatan yang kapitalistis.
Sistem pendidikan yang berlangsung dalam sekolah tak berbeda dengan yang terjadi di lapangan kerja dalam masyarakat kapitalis, yaitu terdapat upaya penekanan pada disiplin, ketekunan, ketepatan, ketergantungan pada atasan, dan lain-lain bukan kepada kemandirian dan kreativitas.[1]
4)      Louis Althuser
            Analisis Althuser sejalan dengan analisis Bowles dan Gintis, yaitu bahwa pendidikan bertujuan untuk mempertahankan dan memperkuat hubungan produksi kapitalis berupa hubungan eksploitasi. Bedanya adalah bahwa Althuser memandang pendidikan sebagai perlengkapan Negara pada masyarakat kapitalis.Pada teori konflik yang tradisional terdapat apa yang dinamakan sistem ekonomi sebagai struktur dasar (infrastruktur) dan sistem-sistem kehidupan lain seperti politik, hokum, pendidikan, kebudayaan, pemerintahan negara sebagai superstruktur.Althusser menunjukkan bahwa pemberi dan penentu makna yang mengajari masyarakat untuk dan berelasi sosial adalah kelas penguasa yang memiliki kekuasaan hegemoni tafsir makna dan tafsir hubungan antar anggota. Tafsir hegemoni ini disemburkan dalam anggota masyarakat lewat media massa, saluran penerangan hingga menjadi kesadaran masyarakat yang ideologis semu palsu. Karena masyarakat mengira itu adalah kesadarannya padahal kesadaran palsu hasil manipulasi ideologis kelas pemilik dan hegemoni.Kesadaran palsu ideologis ini dilanggengkan lewat lembaga-lembaga pendidikan, birokrasi, aparat keamanan, propaganda media massa yang membentuk terus-menerus kesadaran warga hingga sama dengan kesadaran penguasa pemilik tafsir makna. Ini sebabnya kesadaran seolah-olah demokratis padahal semu dan palsu. Bisa awet abadi karena pusat pikiran alternatif dalam mengkonstruksi sendiri makna dibungkam.
5)      Pierre Bourdieu          
            Bourdieu mengembangkan konsep pertimbangan budaya (cultural arbitraries) setiap masyarakat mempunyai pertimbangan budaya sendiri yang tidak bisa dijelaskan dengan kemampuan logika. Ia menolak teori bahwa pencapaian pendidikan yang lebih tinggi dari kelas menengah dan atas adalah akibat dari superioritas atau perbedaan genetika, dan mengajukan argumen bahwa sesungguhnya hal tersebut terjadi ditentukan secara social oleh sifat-sifat kultural yang menguntungkan anak-anak golongan seperti itu yang didapatkan di rumah dan pada saat mereka mulai bersekolah.
            Pertimbangan budaya itu diwariskan melalui sosialisasi. Dalam masyarakat yang heterogen, terdapat banyak pola pertimbangan budaya milik kelas sosial yang dominan.Bourdieu menganjurkan supaya reformasi pendidikan memusatkan perhatiannya pada memberikan capital cultural kepada golongan kaum pekerja atau golongan masyarakat ekonomi bawah.
6)      Ivan Illich
            Ivan Illich memiliki gambaran yang lebih ekstrim dalam karyanya Deschooling Society (1982) atau “Bebas dan Sekolah”. Dikatakan oleh Illich bahwa sekolah adalah tempat anak-anak ditekan dan dipaksa untuk mempelajari hal-hal yang tidak mereka kehendaki atau senangi, padahal belajar yang baik adalah yang berlangsung dalam suasana bebas yang memungkinkan pelajar sendiri memilih pelajaran yang disukainya. Selanjutnya Illich menyarankan agar sistem persekolahan dibubarkan saja karena tidak efektif.
            Perspektif ini beranggapan bahwa masyarakat dibentuk oleh persaingan kelompok-kelompok dalam menguasai sumber-sumber yang bersifat langka. Individu dibentuk oleh institusi sosial dan posisi kelompok-kelompok mereka dalam masyarakat. Bagi perspektif ini perubahan sosial merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan dan selalu terjadi dalam setiap masyarakat. Konsep-konsep yang ditekankan dalam perspektif ini adalah kepentingan, kekuasaan, dominasi, konflik, dan pemaksaan.














BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
             Jadi perspektif  konflik bersifat makro dan konflik dalam  masyarakat dibentuk oleh persaingan kelompok - kelompok dalam menguasai sumber-sumber yang bersifat langka serta Individu dibentuk oleh institusi sosial dan posisi kelompok-kelompok mereka dalam masyarakat kepentingan, kekuasaan, dominasi, konflik, dan pemaksaan setiap individu atau kelompok.












DAFTAR PUSTAKA
Sanderson, Stephen K.2003. Makro Sosiologi.jakarta : PT Raja Grafindo persada.




[1] Stephen K.sanderson, makro sosiologi (jakarta:2003), hal  493 – 497.

perceraian



Anak  merupakan amanah dan karunia Allah SWT., sebagai generasi penerus dalam keluarga bahkan bangsa dan negara. Oleh sebab itu maka anak harus mendapatkan perhatian yang lebih serius dari seluruh aspek kehidupan. Dalam kehidupan manusia, anak merupakan individu yang belum matang baik secara fisik, mental maupun sosial (dalam Konvensi Hak Anak (KHA) dinyatakan bahwa yang disebut anak adalah manusia atau seseorang yang berusia di bawah 18 tahun). Akibat dari belum matangnya individu anak, maka sangat dibutuhkan perlindungan penuh dari orang dewasa. 
Sumber Islam al Qur’an dan Hadits keduanya banyak menegaskan betapa pentingnya perlindungan terhadap anak. 15 abad yang lampau dalam firmanNya, Tuhan telah mengingatkan kepada kita umat Muhammad saw. sebagaimana termaktub di dalam surat al Ma’un 107:1-7, yang artinya:
”Tahukah kamu siapa sebenarnya orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, yaitu orang-orang yang berbuat riya’, dan enggan menolong dengan sesuatu yang berguna”
Dengan tegas ayat di atas memberi gambaran bahwa adanya sebuah kewajiban yang harus dilakukan secara berkesinambungan agar memberi perlindungan dan pengayoman kepada anak; memberi sesuatu yang terbaik demi kesejahteraan mereka. Islam yang dibawa Muhammad saw. dan apa yang dipraktekkannya menjadi teladan bagi ummatnya.
Dalam upaya melindungi anak, dunia internasional bersepakat untuk membuat sebuah aturan yang mengatur tentang perlindungan anak. Pada tanggal 28 November 1989 Majelis Umum PBB telah mensahkan Konvensi Hak Anak (KHA) atau CRC (Convention on the Right of the Child). Setahun setelah itu Konvensi Hak Anak disahkan maka pada tanggal 25 Agustus 1990 dan pemerintah Indonesia meratifiikasi Konvensi tersebut melalui keputusan presiden No. 36 tahun 1990 dan mulai berlaku sejak 5 Okober 1990. Dengan ikutnya Indonesia dalam mensahkan konvensi tersebut maka Indonesia terikat dengan Konvensi Hak Anak dengan segala konsukuensinya. Artinya setiap yang menyangkut tentang kehidupan anak harus mengacu kepada Konvensi Hak Anak dan tak ada pilihan lain kecuali melaksanakan dan menghormati Konvensi Hak Anak. Dan apabila Indonesia tidak melaksanakan dan menghormatinya maka akan memiliki pengaruh negatif dalam hubungan internasional.
Dalam mewujudkan pelaksanaan dari Konvensi Hak Anak tersebut maka pemerintah Indonesia telah juga membuat aturan dalam upaya melindungi anak. Aturan hukum tersebut tertuang dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang disahkan pada tanggal 22 Oktober 2002.
Umat Islam telah diperingatkan Tuhan betapa pentingnya perlindungan anak demi menghadapi generasi mendatang. Hal ini tersurat di dalam surat an Nisa 4:9, yang artinya: ”Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklahmereka mengucapkan perkataan yang benar”
EMPAT PRINSIP DASAR
Ada 4 prinsip dasar dalam CRC yaitu: non discrimination, the best interest of child, right of survival dan develop and participation
1. Non Discrimination.
Prinsip dasar yang pertama ini dimaksudkan bahwa penyelenggaraan dan kesejahteraan serta perlindungan terhadap anak adalah tidak adanya diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang suku, ras, adat budaya, status, jenis kelamin, agama dan golongan. Dalam UU KPA No. 23 Tahun 2002 pasal 13 dan 17, bahwa perlindungan anak dari diskriminasi adalah hak yang dilindungi hukum dan bagi yang melanggar hak tersebut akan dipidana, khususnya dalam bidang pengasuhan anak.
Dalam surat Yusuf 12:8, secara implisit dapat dipahami bahwa hendaknya memperlakukan anak-anak tidak diskriminatif baik terhadap anak sendiri maupun terhadap anak-anak secara umum terlebih terhadap anak-anak yatim.
Non diskriminasi Rasulullah saw dalam berbagai perjamuan yang dihadiri para sahabat tidak saja dalam bentuk materi, namun juga dalam bentuk psikis..Sabda Rasul saw. Kul mimma yalik. misalnya. Rasulullah saw juga mengingatkan kita, jika orang tua ingin dihormati dan dihargai, maka anak harus dididik dengan baik dan diperlakukan adil tidak diskriminatif, tidak memihak, dengan sabdanya, yang artinya “Bertakwalah kepada Allah dan berbuatlah adil kepada anak-anak kalian (Muslim).
Rasulullah saw. juga telah merekonsrtuksi perlakuan bangsa Arab yang tidak adil gender. Praktek Kesetaraan dan Keadilan Gender telah diimplementasikan, sabdanya man lam yarham la yarhamhullah (siapa yang tidak berbelas kasih (sayang) maka tidak akan mendapatkan kasih Allah) (Bukhari Muslim). Di saat kebiasaan budaya yang sangat diskriminatif terhadap bayi2 lahir perempuan, secara tegas harus dihapus karena melanggar hak asasi manusia (surat an Nahl 16:58-59).
2. The Best of Interest of Child
Prinsip dasar yang kedua dimaksudkan bahwa asas kepentingan terbaik bagi anak adalah harus dijadikan pertimbangan utama. Hal ini termaktub dalam pasal 3 ayat 1 KHA. Konsekwensinya adalah apapun bentuk tindakan, perbuatan yang menyangkut anak harus dilakukan oleh kita sebagai warga Negara Indonesia termasuk badan eksekutif, yudikatif maupun legislative.
Anak sebagai kebanggaan orang tua, tentu dan semestiya orang tua berupaya dan mendambakan untuk bisa mengedepankan apa yang terbaik bagi anak karena anak adalah amanah, yang nanti akan dipertanggungjawabkan di hadiratNya. Berbagai contoh kasus misalnya ketika seorang perempuan (suku al Ghamidiyah) hamil akibat perbuatan zina, menghadap Nabi saw. beberapa kali agar diberi hukuman. Oleh Nabi diperintahkan agar pulang sampai melahirkan, agar disusui sampai disapih (Muslim). Ini menunjukkan Nabi saw sangat peduli akan kepentingan yang terbaik bagi si anak.
3. Survival and Development of Child
Prinsip dasar ketiga adalah hak asasi untuk hidup,kelangsungan hidup dan hak untuk berkembang bagi anak. Dalam CRC atau dalam KHA ditegaskan adanya jaminan bagi kelangsungan hidup dan perkembangan anak. Setiap anak memiliki hak kehidupan yang melekat (inherent right of life) yang secara maksimal akan dijamin. Hak asasi mendasar inilah hak untuk hidup dan kelangsungan hidup; yaitu hak akan identitas dan kewarganegaraan (KHA pasal 7). Pemberian hak identitas di negeri kita dikenal dengan akte kelahiran. Akte kelahiran menjadi bukti otentik yang memiliki kekuatan hukum atas jati diri seseorang.
Dalam Islam, sejak anak berada dalam kandungan, sudah mulai diperhatikan kehidupan dan perkembangannya, agar bayi lahir dengan sehat selamat. Diberi nama yang indah (Rasulullah saw mengganti nama yang jelek- Bukhari Muslim, dan Turmudzi) dengan harapan agar menjadi sugesti bagi anak dalam mengarungi kehidupannya. Demikian juga anak sejak dini telah dibiasakan mendengar, melihat lingkungan sekitarnya dengan tindak dan bahasa yang santun dan ramah, sebagaimana disabdakan oleh Rasul saw. akrimu auladakum wa ahsinu adabahum (Muliakanlah anak-anakmu dengan memberi pendidikan yang baik dan ajari sopan santun – Ibnu Majah